Thursday, November 21, 2019

CERPEN PENGALAMAN PRIBADI


                                                    

                                          PAWAI MENGGUNAKAN KEBAYA BETAWI
  Karya : Aurellia Astadewi (11 MIPA 3)

Image result for pawai betawi

    Saat itu, tepatnya pada hari Rabu, aku bangun dari tidurku. Membuka mata lalu beranjak dari kasur, mandi, sholat, lalu bergegas untuk berangkat ke sekolah. Sesampainya aku di sekolah, aku duduk di bangkuku, dan menyiapkan buku untuk belajar. Saat itu masih berjalan normal seperti biasa. Saat itu aku sedang belajar biologi.
    Sampai akhirnya pada pukul 8 pagi, aku dipanggil melalui speaker. Anehnya aku tidak mendengar panggilan itu karena speaker di kelasku rusak. Akhirnya aku didatangi Pak Sofi ke kelas.
“Assalamualaikum, Aurelnya ada?” Pak Sofi bertanya pada guru biologiku yg saat itu sedang mengajar.
“Saya pak,” kataku.
“Sini sebentar Aurel,” ajak Pak Sofi keluar kelas.
Aku pamit sebentar dengan guru biologiku yg sedang mengajar itu. Setelah saya berjalan keluar, Pak Sofi berkata,
“Rel, nanti kamu jadi abang none lagi ya, seperti tahun lalu.”
“Kapan pak?” Tanyaku.
“Hari Minggu rel, di Balai Kota, kamu akan menemani Pak Anies. Nanti kamu sewa baju lagi ya seperti yang kamu lakukan di tahun lalu,” Kata Pak Sofi.
    Karena ada kata “menemani Pak Anies” itu, lantas aku langsung bersemangat. Aku tahun lalu memang sempat  menjadi abang none untuk menjaga stan buku literasi dari berbagai sekolah di Jakarta Selatan di Balai Kota bersama kakak kelas saya yang laki-laki waktu itu, namanya Kak Hanif. Jadi, tak heran saat itu saya dipilih lagi untuk abang none.
“Baik pak. Cowoknya siapa ya pak?” Tanyaku.
“Itu namanya Kak Dimas,” kata Pak Sofi.
“Baik pak,” jawabku.
    Pada hari Jumat, aku akhirnya pergi ke tempat sewa busana Betawi. Tempat langgananku dari tahun lalu untuk menyewa baju Betawi. Perlu waktu yang panjang untuk memilih baju Betawi yang bisa dibilang ‘totalitas’ sekali. Akhirnya aku menemukan baju yang pas, baju kurung warna pink dengan kerudung dan kebaya didasari warna tosca, dengan sepatu tinggi yang lancip dan tak nyaman untuk dipakai dalam waktu lama.
    Akhirnya, pada harinya yaitu hari Minggu, dimana aku harus menjadi ‘none’ datang. Aku bersiap-siap mulai dari jam 4 pagi, karena diminta jam 5 pagi sudah bertemu dengan Kak Dimas dan Bu Suryanti di Masjid Al-Wiqoyah yang akan menemaniku hari itu. Saat aku sudah siap, dengan tampilan ‘anggun’ dan bertemu dengan Kak Dimas dan Bu Suryanti, akhirnya kita memesan taksi. Setelah taksinya sampai, kita naik ke taksi tersebut menuju ke Balai Kota.
    Di dalam taksi, kita berbincang. Aku kaget dengan apa yang dikatakan Bu Suryanti mengenai apa yang akan kita lakukan nanti. Aku pikir, aku akan melakukan hal yang sama seperti tahun lalu. Diam di balai kota menjaga stan, menjawab pertanyaan para pendatang, dan bertemu dengan Anies Baswedan. Ternyata tidak. Aku dan Kak Dimas harus pawai. Ya, pawai, jalan dari Balai Kota ke Monas dengan sepatu hak tinggi yang tak nyaman itu. Sumpah, kakiku terasa sakit sekali saat itu, lelah. Karena aku tidak kuat, aku akhirnya mengeluh ke Kak Dimas.
“Kak, sakit banget kakiku,” kataku.
“Mau pulang aja? Tidak ada Bu Suryanti sih,” kata Kak Dimas.
    Bu Suryanti pergi meninggalkan kita karena dia ada urusan, kita mengerti. Ia meninggalkan uang jajan untuk kita. Saat kuperhatikan, yang pawai itu banyak sekali, dari berbagai sekolah. Jadi, sedikit bandel kupikir tidak apa dong, hahaha. Kebetulan hari itu hari Minggu, saat ada ‘car free day’, dimana tidak ada kendaraan bermotor di daerah tersebut. Akhirnya saat sampai di  Monas, aku menyerah lalu mengajak Kak Dimas untuk pulang. Kita keluar dari jalur dan keluar dari Monas. Kakiku sakit sekali menggunakan sepatu hak tinggi seperti itu.
    Kita berjalan bersama orang-orang yang sedang olahraga dengan kondisi kita menggunakan pakaian abnon (abang none). Aneh rasanya, aku diperhatikan terus menerus oleh orang-orang di sekitar dan ditanya dengan beberapa orang,
“Abis ngapain dek?”
“Abis pawai hehe,” kataku.
“Ohh dimana?”
“Dari Balai Kota sampai Monas.”
    Setelah itu kita melanjutkan perjalanan kita. Akhirnya saat berjalan Kak Dimas melihat ada orang yang jualan sandal. Aku girang sekali, aku langsung membelinya, aku tidak peduli itu sandal perempuan atau laki-laki. Setelah itu aku menukar sepatuku dengan sandal, dan sepertinya wajahku terlihat senang.
“Pegel ya dek? Hahaha,” tanya penjual sandal itu.
“Iya mbak, pegel banget,” kataku.
 Akhirnya aku melanjutkan perjalanan bersama Kak Dimas, kita berdua belum sarapan dan melihat ada yang jualan ketoprak. Kebetulan sebelum Bu Suryanti meninggalkan kami, ia memberi kami uang jajan. Akhirnya kita makan menggunakan uang jajan tersebut.
    Saat duduk, kami berbincang dengan bapak paruh baya yang sedang makan ketoprak juga. Dia baik, dia bercerita tentang pengalaman hidupnya, dia adalah bea cukai, dia lulusan ITB (Institut Teknologi Bandung). Ia bercerita perjuangan dia untuk masuk ITB. Setelah ketoprak kita datang dan dihidangkan, saat aku akan memakannya, ada cacing di makananku, aku langsung spontan berteriak kecil dan meminta tolong ke Kak Dimas. Kak Dimas langsung meminta ganti kepada penjual ketoprak. Akhirnya makananku diganti dengan yg baru dan lebih bersih. Saat makanannya sudah habis, aku dan Kak Dimas pamit dengan bapak yang berbincang dengan kita tadi. Saat kami berjalan, aku menghubungi orang tuaku untuk menjemputku di Sarinah. Sambil berjalan, aku pun berbincang dengan Kak Dimas tentang sekolah, OSIS, dan sebagainya.
Sesampainya kami di Sarinah, aku harus menunggu mama papa dulu sebentar, dan Kak Dimas menemaniku, baik sekali dia. Akhirnya mama dan papa sampai lalu menghubungiku.
“Makasih ya kak udah mau nemenin. Kak Dimas naik apa pulangnya?” Tanyaku.
“Sama-sama, naik Grab kok, gampang,” kata Kak Dimas.
“Oke kakk. Hati2.”
Dan akhirnya kita pulang dan ini adalah sebuah pengalaman yang melelahkan bagiku.

No comments:

Post a Comment