PAWAI MENGGUNAKAN KEBAYA BETAWI
Karya : Aurellia Astadewi (11 MIPA
3)
Saat itu, tepatnya pada hari Rabu, aku bangun dari tidurku. Membuka mata
lalu beranjak dari kasur, mandi, sholat, lalu bergegas untuk berangkat ke
sekolah. Sesampainya aku di sekolah, aku duduk di bangkuku, dan menyiapkan buku
untuk belajar. Saat itu masih berjalan normal seperti biasa. Saat itu aku
sedang belajar biologi.
Sampai akhirnya pada pukul 8 pagi, aku dipanggil melalui speaker.
Anehnya aku tidak mendengar panggilan itu karena speaker di kelasku rusak.
Akhirnya aku didatangi Pak Sofi ke kelas.
“Assalamualaikum, Aurelnya ada?” Pak
Sofi bertanya pada guru biologiku yg saat itu sedang mengajar.
“Saya pak,” kataku.
“Sini sebentar Aurel,” ajak Pak Sofi
keluar kelas.
Aku pamit sebentar dengan guru biologiku
yg sedang mengajar itu. Setelah saya berjalan keluar, Pak Sofi berkata,
“Rel, nanti kamu jadi abang none lagi
ya, seperti tahun lalu.”
“Kapan pak?” Tanyaku.
“Hari Minggu rel, di Balai Kota, kamu
akan menemani Pak Anies. Nanti kamu sewa baju lagi ya seperti yang kamu lakukan
di tahun lalu,” Kata Pak Sofi.
Karena ada kata “menemani Pak Anies” itu, lantas aku langsung
bersemangat. Aku tahun lalu memang sempat
menjadi abang none untuk menjaga stan buku literasi dari berbagai
sekolah di Jakarta Selatan di Balai Kota bersama kakak kelas saya yang
laki-laki waktu itu, namanya Kak Hanif. Jadi, tak heran saat itu saya dipilih
lagi untuk abang none.
“Baik pak. Cowoknya siapa ya pak?”
Tanyaku.
“Itu namanya Kak Dimas,” kata Pak Sofi.
“Baik pak,” jawabku.
Pada hari Jumat, aku akhirnya pergi ke tempat sewa busana Betawi. Tempat
langgananku dari tahun lalu untuk menyewa baju Betawi. Perlu waktu yang panjang
untuk memilih baju Betawi yang bisa dibilang ‘totalitas’ sekali. Akhirnya aku
menemukan baju yang pas, baju kurung warna pink dengan kerudung dan kebaya
didasari warna tosca, dengan sepatu tinggi yang lancip dan tak nyaman untuk
dipakai dalam waktu lama.
Akhirnya, pada harinya yaitu hari Minggu, dimana aku harus menjadi
‘none’ datang. Aku bersiap-siap mulai dari jam 4 pagi, karena diminta jam 5
pagi sudah bertemu dengan Kak Dimas dan Bu Suryanti di Masjid Al-Wiqoyah yang
akan menemaniku hari itu. Saat aku sudah siap, dengan tampilan ‘anggun’ dan
bertemu dengan Kak Dimas dan Bu Suryanti, akhirnya kita memesan taksi. Setelah
taksinya sampai, kita naik ke taksi tersebut menuju ke Balai Kota.
Di dalam taksi, kita berbincang. Aku kaget dengan apa yang dikatakan Bu
Suryanti mengenai apa yang akan kita lakukan nanti. Aku pikir, aku akan
melakukan hal yang sama seperti tahun lalu. Diam di balai kota menjaga stan,
menjawab pertanyaan para pendatang, dan bertemu dengan Anies Baswedan. Ternyata
tidak. Aku dan Kak Dimas harus pawai. Ya, pawai, jalan dari Balai Kota ke Monas
dengan sepatu hak tinggi yang tak nyaman itu. Sumpah, kakiku terasa sakit
sekali saat itu, lelah. Karena aku tidak kuat, aku akhirnya mengeluh ke Kak
Dimas.
“Kak, sakit banget kakiku,” kataku.
“Mau pulang aja? Tidak ada Bu Suryanti
sih,” kata Kak Dimas.
Bu Suryanti pergi meninggalkan kita karena dia ada urusan, kita
mengerti. Ia meninggalkan uang jajan untuk kita. Saat kuperhatikan, yang pawai
itu banyak sekali, dari berbagai sekolah. Jadi, sedikit bandel kupikir tidak
apa dong, hahaha. Kebetulan hari itu hari Minggu, saat ada ‘car free day’,
dimana tidak ada kendaraan bermotor di daerah tersebut. Akhirnya saat sampai
di Monas, aku menyerah lalu mengajak Kak
Dimas untuk pulang. Kita keluar dari jalur dan keluar dari Monas. Kakiku sakit
sekali menggunakan sepatu hak tinggi seperti itu.
Kita berjalan bersama orang-orang yang sedang olahraga dengan kondisi
kita menggunakan pakaian abnon (abang none). Aneh rasanya, aku diperhatikan
terus menerus oleh orang-orang di sekitar dan ditanya dengan beberapa orang,
“Abis ngapain dek?”
“Abis pawai hehe,” kataku.
“Ohh dimana?”
“Dari Balai Kota sampai Monas.”
Setelah itu kita melanjutkan perjalanan kita. Akhirnya saat berjalan Kak
Dimas melihat ada orang yang jualan sandal. Aku girang sekali, aku langsung
membelinya, aku tidak peduli itu sandal perempuan atau laki-laki. Setelah itu
aku menukar sepatuku dengan sandal, dan sepertinya wajahku terlihat senang.
“Pegel ya dek? Hahaha,” tanya penjual
sandal itu.
“Iya mbak, pegel banget,” kataku.
Akhirnya aku melanjutkan perjalanan bersama
Kak Dimas, kita berdua belum sarapan dan melihat ada yang jualan ketoprak.
Kebetulan sebelum Bu Suryanti meninggalkan kami, ia memberi kami uang jajan.
Akhirnya kita makan menggunakan uang jajan tersebut.
Saat duduk, kami berbincang dengan bapak paruh baya yang sedang makan
ketoprak juga. Dia baik, dia bercerita tentang pengalaman hidupnya, dia adalah
bea cukai, dia lulusan ITB (Institut Teknologi Bandung). Ia bercerita
perjuangan dia untuk masuk ITB. Setelah ketoprak kita datang dan dihidangkan,
saat aku akan memakannya, ada cacing di makananku, aku langsung spontan
berteriak kecil dan meminta tolong ke Kak Dimas. Kak Dimas langsung meminta
ganti kepada penjual ketoprak. Akhirnya makananku diganti dengan yg baru dan
lebih bersih. Saat makanannya sudah habis, aku dan Kak Dimas pamit dengan bapak
yang berbincang dengan kita tadi. Saat kami berjalan, aku menghubungi orang
tuaku untuk menjemputku di Sarinah. Sambil berjalan, aku pun berbincang dengan
Kak Dimas tentang sekolah, OSIS, dan sebagainya.
Sesampainya kami di Sarinah, aku harus
menunggu mama papa dulu sebentar, dan Kak Dimas menemaniku, baik sekali dia.
Akhirnya mama dan papa sampai lalu menghubungiku.
“Makasih ya kak udah mau nemenin. Kak
Dimas naik apa pulangnya?” Tanyaku.
“Sama-sama, naik Grab kok, gampang,”
kata Kak Dimas.
“Oke kakk. Hati2.”
Dan akhirnya kita pulang dan ini adalah
sebuah pengalaman yang melelahkan bagiku.